Wanita ini adalah pengajar orang-orang besar, ash Shiddiqah binti ash-Shiddiq, al-Qurasyiyah al-Makkiyah Ummul Mukminin, istri pemimpin anak Adam, istri yang paling Rasulullah cintai, putri dari laki-laki yang paling beliau cintai, wanita yang ditetapkan kesuciannya dari atas langit ketujuh.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim bahwa Amr bin al-Ash bertanya kepada Nabi,
أي النّاس أحب إليك يا رسول الله؟ قال: عائشة، قال: فمن الرجال؟ قال: أبوها.
"Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling engkau cintai?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Aisyah." Dia bertanya lagi, "Kalau dari kalangan laki-laki." Nabi menjawab, "Bapaknya."
Wanita shahabiyat ini belajar di madrasah kenabian yang menempa iman dan mencetak pejuang, dididik langsung saat masih kanak-kanak oleh syaikh kaum Muslimin dan orang terbaik mereka, bapaknya sendiri Abu Bakar ash-Shiddiq, lalu pada masa mudanya dia berada dalam pengawasan nabi dan pendidik manusia, manu sia paling mulia dan paling utama sekaligus suaminya, Rasulullah ﷺ, maka dia mengumpulkan ilmu, keutamaan, dan keahlian berbicara yang membuatnya meninggalkan nama yang menjadi buah bibir sepanjang sejarah.
Dari rumah yang sederhana, Aisyah memulai hidupnya bersama Rasulullah ﷺ, kehidupan yang akan senantiasa menjadi fokus pembicaraan sejarah.
Rumah tangga adalah tugas pertama seorang wanita. Di antara tujuan paling besar seorang wanita di dunia ini adalah menjadi istri lalu menjadi ibu, tidak ada sesuatu pun yang bisa menggantikannya sekalipun dia meraih harta sepenuh jagad raya, sekalipun menggapai kemuliaan setinggi langit, sekalipun meraih kedudukan dan ilmu yang membuat manusia iri kepadanya, semua itu tidak bisa menggantikan rumah tangga dan tidak bisa menghapus kecenderungannya kepadanya. Bagaimana seorang wanita bisa berbahagia saat dia mencampakkan fitrah yang dia diciptakan di atasnya?
Manakala harta dunia datang melimpah kepada kaum Muslimin, seseorang memberi Aisyah 100 ribu dirham yang saat itu sedang berpuasa, maka dia langsung membagi-bagikannya, padahal di rumahnya tidak ada sesuatu. Saat sore tiba, Aisyah berkata kepada pelayannya, "Pelayan, siapkan hidangan berbuka untukku." Maka dia menyiapkan roti dan minyak. Pelayan berkata, "Mengapa engkau tidak menyisakan satu dirham dari apa yang engkau bagi hari ini untuk membeli daging untuk makanan berbuka kita?" Aisyah menjawab, "Jangan menyalahkanku, seandainya kamu mengingatkanku, niscaya aku melakukannya."
Dari Tamim bin Salamah, dari Urwah, dia berkata, "Aku melihat Aisyah membagikan 70 ribu dirham, dan dia masih saja menambal kantong jubahnya."
Sebagai istri, Aisyah sangat perhatian dalam menimba ilmu dari Rasulullah ﷺ, maka dia mencapai level di bidang ilmu dan kefasihan kata-kata yang membuatnya kapabel menduduki kursi pendidik orang-orang besar dan rujukan bagi mereka dalam hadits dan fikih. Imam az-Zuhri berkata, "Seandainya ilmu Aisyah disandingkan di sisi ilmu semua kaum wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama."
Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya, "Sungguh aku telah menyertai Aisyah, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mengetahui tentang sebuah ayat yang diturunkan, kewajiban, as-Sunnah, syair, lebih banyak riwayatnya tentang syair, kejadian dari kejadian-kejadian bangsa Arab, nasab, bidang ini, bidang itu, peradilan, dan pengobatan dibandingkan dia." Dia bertanya kepada Aisyah, "Bibi, dari mana engkau mengetahui pengobatan?" Dia menjawab, "Aku pernah sakit, lalu tabib memberikan resep obat ke padaku, lalu ada orang sakit, lalu tabib memberikan resep obat ke padanya, aku juga mendengar sebagian orang memberikan resep obat kepada sebagian lainnya, aku mengingatnya."
Dari al-A'masy, dari Abu adh-Dhuha, dari Masruq, bahwa dia ditanya,
هل كانت عائشة تحسن الفرائض؟ قال : والله، لقد رأيت أصحاب محمد الأكابر يسألونها عن الفرائض.
"Apakah Aisyah menguasai faraidh (ilmu waris)?" Dia menjawab, "Demi Allah, sungguh aku melihat sahabat-sahabat besar Nabi Muhammad bertanya kepadanya tentangnya."
Aisyah wafat tahun 58 H. Ismail bin Abu Khalid meriwayat kan dari Qais, dia berkata, Aisyah ingin dimakamkan di rumah nya, namun dia berkata, "Sesungguhnya aku telah melakukan sesuatu sesudah Rasulullah tiada, Makamkanlah aku bersama para istri Nabi." Maka dia dimakamkan di Baqi'.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A'lam an-Nubala me ngomentari perkataan Aisyah, "Yang dimaksud dengan sesuatu adalah keberangkatannya dalam perang Jamal, dia menyesali nya secara total dan bertaubat darinya, dia melakukan hal itu atas dasar takwil dan menginginkan kebaikan, sebagaimana Thalhah bin Ubaidullah, az-Zubair bin al-Awwam dan beberapa sahabat besar Nabi ﷺ berijtihad."
Ada yang berkata, Aisyah dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami' Damaskus, Adz-Dzahabi berkata, "Ini salah besar, Aisyah tidak pernah datang ke Damaskus, akan tetapi dia di makamkan di Baqi' dalam usia 63 tahun beberapa bulan."
Ibu Aisyah adalah Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abdu Syams bin Attab bin Udzainah al-Kinaniyah. Aisyah berhijrah bersama kedua orangtuanya. Nabi ﷺ menikahinya sebelum hijrah sesudah ash-Shiddiqah Khadijah binti Khuwailid wafat, beberapa belas bulan sebelum hijrah, ada yang berkata dua tahun. Nabi ﷺ baru menjalani kehidupan rumah tangga dengan Aisyah pada Bulan Syawal tahun 2 H sepulang dari perang Badar saat usia Aisyah sembilan tahun.
Aisyah termasuk anak yang lahir dalam Islam, usianya lebih muda dari Fathimah delapan tahun. Dia berkata, "Aku tidak mengetahui bapak ibuku kecuali saat keduanya telah memeluk agama ini."
Nabi ﷺ menikahi Aisyah sesudah Khadijah wafat, Nabi ﷺ menikahinya dan menikahi Saudah pada saat yang sama. Nabi ﷺ membangun rumah tangga dengan Saudah, tiga tahun kemudian Nabi ﷺ berumah tangga dengan Aisyah pada Bulan Syawal sepulang dari perang Badar. Nabi ﷺ tidak menikahi wanita perawan selainnya. Nabi ﷺ sangat mencintainya dan memperlihatkan cinta beliau kepadanya.
Adz-Dzahabi berkata, "Cinta Nabi ﷺ kepada Aisyah adalah sesuatu yang masyhur, karena itu para sahabat saat hendak memberi Nabi ﷺ hadiah, mereka menunggu saat Nabi ﷺ berada di rumah Aisyah, hal itu dalam rangka mencari keridhaan beliau." Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Aisyah,
كان الناس يتحرون بهداياهم يوم عائشة، قالت: فاجتمع صواحبي إلى أم سلمة، فقلت لها: إن الناس يتحرون بهداياهم يوم عائشة، وإنا نريد الخير كما تريده عائشة، فقولي لرسول الله ﷺ يأمر الناس أن يهدوا له أينما كان، فذكرت أم سلمة له ذلك، فسكت، فلم يرد عليها فعادت الثانية، فلما كانت الثالثة قال: يا أم سلمة، لا تؤذيني في عائشة، فإنّه والله، ما نزل على الوحي وأنا في لحاف امرأة منكن غيرها.
"Orang-orang menunggu giliran saya untuk menyampaikan hadiah mereka kepada Nabi ﷺ. Aisyah berkata, 'Maka istri-istri Nabi ﷺ yang lain menemui Ummu Salamah, mereka berkata kepadanya, 'Sesung guhnya orang-orang menunggu hari Aisyah saat mereka hendak memberi Nabi ﷺ hadiah dan sesungguhnya kami juga berharap mendapatkan kebaikan sama seperti yang diharapkan Aisyah, maka sampaikanlah kepada Rasulullah agar beliau menyuruh orang-orang, bila mereka hendak memberi beliau hadiah agar memberikannya di mana pun Nabi berada. Maka Ummu Salamah menyampaikan nya kepada Nabi dan Nabi hanya diam tidak menjawab. Ummu Salamah mengulanginya kedua kalinya. Saat ketiga kalinya, Nabi menjawab, "Wahai Ummu Salamah, jangan menyakitiku berkaitan dengan Aisyah, demi Allah sesungguhnya aku tidak pernah menerima wahyu saat berada di dalam selimut seorang wanita pun dari kalian kecuali dia."
Adz-Dzahabi berkata, "Jawaban Nabi ini menunjukkan bahwa keutamaan Aisyah atas istri-istri Nabi ﷺ yang lain adalah atas perintah Ilahi di balik cinta beliau kepadanya, dan bahwa hal itu termasuk sebab Nabi ﷺ mencintainya."
Diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Kitab Fadha'il ash-Shahabah, dari Anas, beliau berkata, Rasulullah ber sabda,
فضل عائشة على النساء كفضل التريد على سائر الطعام.
"Keutamaan Aisyah atas kaum wanita adalah seperti keutamaan tsarid²⁴ atas makanan lainnya."
²⁴ (Roti yang dipotong kecil-kecil yang dicampur dengan daging dan kuah, Ed,T).
Di antara keutamaan Aisyah adalah diriwayatkan dalam Kitab Bad`u al-Khalq, Bab Dzikr al-Malaikah, dari Aisyah, bahwa dia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
يا عائشة، لهذا جبريل وهو يقرأ عليك السلام، قالت: وعليه السلام ورحمة الله، ترى ما لا نرى يا رسول الله.
"Wahai Aisyah, ini Malaikat Jibril, dia mengucapkan salam kepadamu." Aisyah menjawab, "Baginya keselamatan dan rahmat Allah. Engkau melihat apa yang tidak kami lihat, wahai Rasulullah ﷺ."
Di antara peristiwa penting dalam hidup Ummul Mukminin Aisyah adalah saat menghadapi fitnah dusta yang keji dalam peristiwa "berita bohong". Bermula dari orang-orang munafik yang melihat kemenangan kaum Muslimin hari demi hari, maka hati mereka merana, mereka merasa kedudukan mereka mulai terancam dan terpinggirkan hingga akhirnya masyarakat benar-benar membenci mereka. Maka mereka ingin mengarahkan sebuah pukulan telak terhadap Rasulullah ﷺ dan membuat perpecahan dan pertikaian dalam barisan kaum Muslimin, maka mereka menuduh Ummul Mukminin ash-Shiddiqah binti ash-Shiddiq dengan tuduhan keji yang besar.
Kemunafikan dan hasad telah bercokol kuat di dalam hati Abdullah bin Ubay bin Salul sejak hari pertama dia mendengar Islam, maka dia mulai membuat tipu muslihat dan makar terhadap Nabi ﷺ dan Islam satu demi satu, akan tetapi hikmah Allah selalu mengawasi, sehingga ia pun menggagalkan dan mengalahkannya.
Fitnah dusta ini adalah kejadian yang sangat menyakitkan hati Ummul Mukminin Aisyah Saat-saat yang sulit dan berat membekapnya, suaminya, Rasulullah ﷺ dan rumah tangga gadis yang mulia ini, berlangsung kurang lebih satu bulan sebelum al-Qur'an al-Karim turun menyatakan kesucian dan kebersihan Aisyah wanita suci dan mulia. Pembebasan ini juga menetapkan kesaksian penuh berkah untuk sahabat mulia Shafwan bin al-Mu'aththal yang dituduh dengan tuduhan keji yang sama. Pembebasan ini mencap orang-orang munafik dengan label dusta dan bohong yang terus menempel di kening mereka hingga akhir hayat.
Peristiwa ini terjadi pada perang al-Muraisi' tahun 5 H.
Aisyah menyampaikan kisah kejadiannya yang menyakitkannya ini secara detil. Dia berkata,
"Bila Rasulullah hendak melakukan perjalanan, beliau mengundi para istri beliau, siapa yang namanya keluar, dia berangkat bersama Nabi ﷺ. Dalam sebuah peperangan beliau mengundi, lalu namaku yang keluar, maka aku berangkat bersama Rasulullah ﷺ dan itu sesudah diturunkan perintah berhijab. Aku diangkat dalam tendaku di atas unta dan diturunkan dalam keadaan berada didalamnya selama perjalanan kami, hingga Rasulullah ﷺ menyelesaikan perang nya, lalu beliau pulang. Kami sudah dekat dengan Madinah, suatu malam Rasulullah ﷺ mengumumkan kepada pasukan agar berangkat, saat itu aku berdiri, aku berjalan hingga aku melewati pasukan untuk menunaikan hajatku sendirian, selesai menunaikan hajat, aku kembali ke tempat pasukan singgah, aku meraba dadaku, ternyata kalung untaian manik-manik Zhifar terputus, maka aku kembali ke tempat kalung itu hilang untuk mencarinya. Lalu orang-orang yang mengawal tenda di atas untaku datang, mereka mengangkatnya ke atas untaku yang aku kendarai, mereka mengira aku ada di dalam nya. Saat itu kaum wanita rata-rata kurus, belum gemuk dan belum subur karena mereka hanya makan sedikit, sehingga orang-orang tidak curiga terhadap ringannya tenda saat mereka mengangkatnya, di samping itu saat itu aku adalah seorang gadis muda. Mereka pun menjalankan untanya. Aku menemukan kalungku setelah pasukan berangkat, lalu aku kembali ke tempat peristirahatan orang-orang, ternyata di tempat tersebut tak seorang pun yang tertinggal. Aku menuju ke tempatku semula, aku menyangka orang-orang akan ke hilangan diriku dan akan kembali mencariku. Saat aku duduk, ke dua mataku mengalahkanku, aku pun tertidur.
Shafwan bin al-Mu'aththal-as-Sulami adz-Dzakwani beristirahat di belakang pasukan, dia berjalan di malam hari menjelang Shubuh, dia tiba di tempatku, dan melihat bayangan orang yang tertidur, lalu dia datang kepadaku dan mengetahui diriku manakala dia melihatku, karena dia pernah melihatku sebelum hijab diwajib kan kepada kami, aku terjaga saat dia mengucapkan, 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Saat Shafwan mengenaliku, aku menutup wajahku dengan kerudungku, demi Allah, Shafwan tak berkata sepatah kata pun kepadaku, aku tidak mendengar darinya selain ucapan, 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji' un', kemudian Shafwan menderumkan unta nya lalu aku mengendarainya, lalu Shafwan berjalan menuntun untanya sampai dia menyusul pasukan yang sedang istirahat di tengah hari. Maka celakalah orang-orang yang celaka terkait dengan urusanku ini, dan orang yang mempelopori berita dusta ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul.